Tentang Aturan Resmi Penggunaan Pengeras Suara (Speaker) Masjid & Mushola- Kunci Ibadah

Aturan Resmi Penggunaan Pengeras Suara (Speaker) Masjid. Kementerian Agama Sudah Mengaturnya Sejak 1978 dan tidak ada masalah selama aturan ini ditaati.

Aturan Resmi Penggunaan Pengeras Suara (Speaker) Masjid

WAPRES
Jusuf Kalla mengeluhkan suara mengaji (bacaan Al-Quran) yang diperdengarkan melalui pengeras suara (speaker) di masjid-masjid. Seperti dibeirtakan, JK menyebutnya sebagai "polusi suara".

Wapres sebelumnya, Boediono, juga pernah meminta agar Dewan Masjid melakukan pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid-masjid. Wapres menilai, suara azan yang terdengar sayup-sayup dari jauh terasa lebih merasuk ke sanubari dibanding suara yang terlalu keras.

Penyataan tersebut mencerminkan Kedua Wapres itu "belum membaca" aturan resmi pengeras suara (speaker) di masjid-masjid yang sudah dikeluarkan pemerintah sejak lama sekali, yaitu tahun 1978.

Aturan Kementerian Agama (Kemenag) tersebut bisa disimak di situs bimasislam.kemenag.go.id, yaitu berupa Instruksi Ditjen Bimbingan Masyarakat (Bimas) Islam dalam Keputusan Nomor: Kep\/D\/101\/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Keputusan itu ditandatangani Dirjen Bimas Islam saat itu, Kafrawi, pada 17 Juli 1978.

Syarat Penggunaan Pengeras Suara Masjid

Berikut ini Aturan Bimas Islam mengenai syarat-syarat penggunaan pengeras suara:
1. Perawatan penggunaan pengeras suara yang oleh orang-orang yang terampil dan bukan yang mencoba-coba atau masih belajar.

Dengan demikian tidak ada suara bising, berdengung yang dapat menimbulkan antipati atau anggapan tidak teraturnya suatu masjid, langgar, atau musala

2. Mereka yang menggunakan pengeras suara (muazin, imam salat, pembaca Alquran, dan lain-lain) hendaknya memiliki suara yang fasih, merdu, enak tidak cempreng, sumbang, atau terlalu kecil.

Hal ini untuk menghindarkan anggapan orang luar tentang tidak tertibnya suatu masjid dan bahkan jauh daripada menimbulkan rasa cinta dan simpati yang mendengar selain menjengkelkan.

3. Dipenuhinya syarat-syarat yang ditentukan, seperti tidak bolehnya terlalu meninggikan suara doa, dzikir, dan salat.

Karena pelanggaran itu bukan menimbulkan simpati melainkan keheranan umat beragama sendiri tidak menaati ajaran agamanya

4. Dipenuhinya syarat-syarat di mana orang yang mendengarkan dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan dalam keadaan tidur, istirahat, sedang beribadah atau dalam sedang upacara.

Dalam keadaan demikian (kecuali azan) tidak akan menimbulkan kecintaan orang bahkan sebaliknya. Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakatnya masih terbatas, maka suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, atau musala selain berarti seruan takwa juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitarnya.

5. Dari tuntunan nabi, suara azan sebagai tanda masuknya salat memang harus ditinggikan. Dan karena itu penggunaan pengeras suara untuknya adalah tidak diperdebatkan. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.

Aturan Pengeras Suara Kedalam dan Keluar

Di dalam instruksi itu juga diatur bagaimana tata cara memasang pengeras suara baik suara ke dalam ataupun keluar. Juga penggunaan pengeras suara di waktu-waktu salat.

Secara terperinci penggunaan pengeras suara di masjid sebagai berikut:

1. Waktu Subuh
Sebelum waktu subuh dapat dilakukan kegiatan-kegiatan dengan menggunakan pengeras suara paling awal 15 menit sebelum waktunya. Kesempatan ini digunakan untuk pembacaan ayat suci Al-Qur�an yang dimaksudkan untuk membangunkan kaum muslimin yang masih tidur, guna persiapan shalat, membersihkan diri, dan lain-lain.

Kegiatan pembacaan ayat suci Al-Qur�an tersebut dapat menggunakan pengeras suara ke luar. Sedangkan ke dalam tidak disalurkan agar tidak mengganggu orang yang sedang beribadah dalam masjid.

Adzan waktu subuh menggunakan pengeras suara ke luar. Shalat subuh, kuliah subuh, dan semacamnya menggunakan pengeras suara (bila diperlukan untuk kepentingan jama�ah) dan hanya ditujukan ke dalam saja.

2. Waktu Dzuhur dan Jum�at
Lima menit menjelang dzuhur dan 15 menit menjelang waktu dzuhur dan Jum�at supaya diisi dengan bacaan Al-Qur�an yang ditujukan ke luar.

Demikian juga suara adzan bilamana telah tiba waktunya.
Bacaan shalat, do�a, pengumuman, khutbah, dan lain-lain menggunakan pengeras suara yang ditujukan ke dalam.

3. Ashar, Maghrib, dan Isya�
Lima menit sebelum adzan pada waktunya, dianjurkan membaca Al-Qur�an.

Pada waktu datang waktu shalat dilakukan adzan dengan pengeras suara ke luar dan ke dalam.
Sesudah adzan, sebagaimana lain-lain waktu hanya ke dalam.

4. Takbir, Tarhim, dan Ramadhan
Takbir Idul Fitri, Idul Adha dilakukan dengan pengeras suara ke luar. Pada Idul Fitri dilakukan malam 1 Syawal dan hari 1 Syawal. Pada idul Adha dilakukan 4 hari berturut-turut sejak malam 10 Dzulhijjah.

Tarhim yang berupa do�a menggunakan pengeras suara ke dalam. Dan tarhim dzikir tidak menggunakan pengeras suara.

Demikian Aturan Resmi Penggunaan Pengeras Suara (Speaker) Masjid. Semoga para pengurus masjid (DKM) dan masyarakat Indonesia pada umumnya mengetahui dan mahami aturan ini. Wasalam. (www.risalahislam.com).*

Link Download
Keputusan Dirjen Bimas Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Musala